•   10 May 2024 -

Demokrasi dan Pelarangan Buku di Indonesia

Korporasi -
09 Agustus 2019
Demokrasi dan Pelarangan Buku di Indonesia Dewan Pimpinan Komisariat GMNI FISIP UNMUL Yohanes Richardo N.W
Penulis Opini : Dewan Pimpinan Komisariat GMNI FISIP UNMUL Yohanes Richardo N.W
 
Buku adalah jendela dunia. Ungkapan itu bukanlah isapan jempol. Buku adalah jembatan pengetahuan dari manusia satu ke manusia atau masyarakat lainnya untuk membuka cakrawala berpikir tentang sebuah kesadaran akan realitas masyarakat atau dunia yang begitu kompleks.
Pelarangan buku berlatar belakang sejarah Indonesia terlebih berhaluan kiri masih menjadi ketakutan sejumlah ormas dengan cara melarang, mencekal ataupun merazia buku. Lebih parahnya lagi, perbuatan itu seakan dibiarkan aparatur yang semestinya memahami, NKRI adalah negarasa Yaang berazazkan Hukum dan tertuang pada UU Keterbukaan Publik lantaran buku yang disebut-sebut adalah buku sejarah masyarakat Indonesia pada periode.
 
Sebuah Phobia masyarakat terhadap kondisi sejarah masa silam seolah tabu untuk dipelajari di ruang publik. Sementara di negara maju, semua buku terlebih sejarah mutlak bak hidangan yang mesti dilahap habis. Dengan begitu, mengetahui masa lampau untuk memetik sebuah hikmah adalah keharusan sejarah masyarakat Indonesia agar tak terjatuh pada ceruk zaman di masa mendatang.
 
 
Buku merupakan sumber ilmu pengetahuan ilmiah dalam mengenalkan kaidah-kaidah bernalar secara sadar. Sekumpulan sel berfikir mendorong mental bernalar bahkan mengemukakan argumentasi secara logis serta mempercepat proses kesadaran. Melalui buku, khasanah berfikir terbuka luas. Tentu saja tidak ada batasannya dalam membedah berbagai aspek kehidupan, baik ekonomi, politik, sosial, budaya, hukum dan lain-lain dengan semangat yang kritis juga aktif ditiap gerak peradaban zaman. 
 
Hal ini tentu saja sebagai manusia yang sadar, buku apapun itu menjadi sajian penting sebagai bahan belajar mengenal dan memahami dunia. Pengetahuan revolusioner untuk membebaskan umat manusia dari belenggu penindasan oleh kekuatan pasar bebas, yang saat ini dikendalikan kelompok Borjuis, dari situ manusia memiliki kesadaran ingin kebebasan.
 
Sebagai produk karya intelektual yang dilindungi UU. Beberapa kasus terjadi penyitaan buku tanpa adanya proses pengadilan, hukum maupun putusan Mahkamah Agung (MA). Penyitaan buku kiri terjadi di Kediri, Jatim pada 26 Desember 2018 lalu di Padang, Sumbar pada 08 Januari 2019. Tak hanya itu, kasus berlanjut di Probolinggo, Jateng pada 27 Juli 2019 dan belum lama ini di Makassar, Sulsel.
 
 
Sebegitu Takutkah Aparat, Untuk Generasi Muda Mengenali Sejarah Bangsa ?
 
Entah apa alasannya, sejarah miliknya siapa, yang jelas razia buku bukanlah cara menyelesaikan masalah. Mestinya aparat melakukan penelitian, pengkajian terlebih dahulu dan diberikan jawaban pembuktian ilmiah dari sudut pandang bantahan intelektual kepada publik. Bukan disita, dilarang bahkan menyitaan atau yang lebih parah misalnya Pembredelan. Ini praktek yang menjijikkan, akibat malas membaca. 
 
Bagi sebagaian kalangan, pengetahuan kritis menjadi haram. Demokrasi diberhangus, intelektual kita telah dilecehkan ketika negara semakin buas, gemar melakukan pelarangan dan penyitaan buku. Sikap otoriter kembali ditunjukkan Negara yang menjunjung Demokrasi saat ini. 
 
Padahal di era yang demokrasi ini, kesempatan dalam mengenyam dalamnya sumur ilmu pengetahuan mesti terus digali, diselami sedalam-dalamnya. Negara, tentunya memiliki peran penting mencerdaskan kehidupan bangsa tertuang dalam Pembukaan UUD alinea pertama. Namun, justru kebalikannya.
 
Buku produk intelektual, bagian dari sejarah bangsa, lantas  apa alasannya ? Tentu saja menjadi pertanyaan besar ditengah era demokrasi saat ini. Stigma berfikir masyarakat dicuci, sejarah bangsa dikaburkan. Sejauh ini, kita masih penuh menduga-duga apa tujuan dibalik ini, ataukah secara tidak sadar bahwa sistem negara kita sudah kembali ke orde baru. 
 
 
Minim Literasi, Di Tengah Kemajuan Globalisasi
 
Dalam sebuah data yang bersumber media online di Bandung mencatat. literasi Indonesia ranking terbawah kedua di dunia, Indonesia menempati ranking ke 60 dari 61 negara dalam hal literasi dan membaca. Walau, berdasarkan hasil survei World Culture Index Score 2018, kegemaran membaca Indonesia meningkat signifikan yang menempati urutan ke-17 dari 30 negara.
 
Hal tersebut sudah membuktikan, kita masih jauh dari budaya yang ilmiah, mestinya didorong spirit belajar bukan memhambat kemajuan berfikir.  
 
Di era globalisasi, manusia justru lebih mudah mengakses suatu pengetahuan dengan kecanggihan teknologi, misalkan mencari PDF di internet,sumber referensi literasi buku apa saja yang ingin dibaca, salahsatunya tentang bacaan sejarah berhaluan kiri.
 
Jadi jangan pernah takut tentang segala sesuatu yang tidak diketahui, membaca untuk merdeka, bukan merawat kebodohan dan membenarkan kesalahan. 
 
Mengutip kata dari Bung Karno, Belajar tanpa berfikir itu tidaklah berguna. Tapi berfikir tanpa belajar itu sangatlah berbahaya.
 
 



TINGGALKAN KOMENTAR