•   10 May 2024 -

Wajah Manis Lembaga Pinjaman Dunia dan Masa Depan Buruh Indonesia

Korporasi -
22 Agustus 2019
Wajah Manis Lembaga Pinjaman Dunia dan Masa Depan Buruh Indonesia
Akbar Rewako, Aktivis Gerakan Bersama Rakyat (GEBRAK), Jakarta
 
Jika berbicara tentang uuk no 13 tahun 2003 sebenarnya tidak bisa terlepas dari krisis yang terjadi pada tahun 1998. Hal ini kemudian bisa di lihat dari bagaimana Indonesia mengambil langkah dalam memperbaiki krisis salah satunya ialah meminta bantuan lembaga pinjaman dunia IMF (International monetary fund).
 
Setelah meminta bantuan  IMF, pemerintah Indonesia di sarankan untuk meminjam uang  dengan kisaran 43 juta us dolar amerika, namun agar Indonesia mendapatkan dana  pinjaman maka ada beberapa syarat yang harus di penuhi sebagaimana tertuang dalam pertemuan LOI (Letter Of Intent) antara lain pembubaran 16 bank yang terindikasi sakit, pemotongan biaya subsidi pemerintah, menjual asset BUMN (Badan Umum Milik Negara)  dan penyesuaian regulasi untuk melancarkan masuk investasi termasuk didalamnya ialah draft undang-undang ketenagakerjaan no 13 tahun 2003 yang berbicara tentang upah minimum, status kerja kontrak outshorsing , kerja lembur dan beberapa tawaran lain yang sebenarnya bermuara untuk kepentingan pengusaha dalam negeri  dan luar negeri dalam bingkai kapitalisme.
 
Secara bergulirnya waktu agar beberapa tawaran yang di berikan oleh IMF paska jatuhnya soharto ada beberapa pertemuan yang di lakukan oleh pemerintah salah satunya tentang pengesahan uuk no 13 tahun 2003. Dalam pengesahan uuk no 13 tahun 2003 ada beberapa unsur yang terlibat antara lain partai politik borjuasi yang sampai hari ini berkuasa, beberapa serikat buruh, berserta jajaran kabinet pemerintahan paska runtuhnya Soeharto hal ini bisa di simpulkan jika pertemuan dalam pengesahan uuk pada tahun 2003 itu salah satu bentuk penghianatan terhadap  kaum buruh  yang  jelas keberpihakannya lebih condong ke pengusaha dan merugikan buruh.
 
Sebelum pengesahan uuk no 13 tahun 2003 bukan berarti  perlawanan buruh tidak ada namun perlawanan buruh mulai massif yang sebelumnya pada zaman soeharto habis dibungkam akan tetapi paska reformasi  perlawanan buruh mulai Nampak dan berbondong-bondong di depan gedung DPR nasional guna menggagalkan uuk no 13 tahun 2003. Bahkan untuk meredam gerakan buruh Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Jacob Nuwa Wea yang menjabat pada saat itu  menyatakan ”RUU ditunda bukan karena unjuk rasa  Demonya hanya sedikit kok, cuma 1.500 orang, kecil itu” ini bukti  bagimana negara mematahkan semangat perjuangan buruh jika aksi tidak ada hasilnya akan tetapi di tundanya pengesahan  ruu tersebut  itu adalah buah hasil dari perjuangan dan perlawanan buruh.
 
Untuk mengetahui lebih dalam sebenarnya uuk no 13 tahun 2003 sudah seharusnya di cabut bukan malah di revisi hal ini bisa tergambar dari prakteknya antara lain pasal soal pengupahan (pasal 89), dalam praktek lapangan penentuan upah berdasarkan kebutuhan hidup layak sering kali tidak sesuai dengan apa yang di atur dalam pasal tersebut. Selain itu di perparah dengan adanya PP no. 78 tahun 2015 tentang pengupahan yang membatasi upah terhadap buruh dan tidak ada sangsi yang sangat tegas kepada pengusaha apabila pengusaha tidak memberikan upah sesuai dengan upah minimum.
 
Belum lagi permasalahan yang dihadapi oleh pekerja yang status kontrak dan outsourcing, dengan status kerja yang tidak pasti dan sering mendapat ancaman PHK sepihak tanpa ganti rugi perusahaan (pesangon). Begitupun dengan pekerja yang berstatus PKWT (perjanjian kerja waktu tertentu) yang berganti setelah tiga tahun bekerja. Selain itu masalah yang sering kali dihadapi oleh kaum buruh adalah gaji lembur yang tidak dibayar, kecealakaan kerja yang kadang disepelekan oleh perusahaan, cuti haid bagi buruh perempuan yang hanya di beri waktu dua hari dan berbagai persoalan lainnya yang dihadapi kaum buruh di pabrik, tapi tidak pernah dianggap serius oleh pemilik perusahaan dan aturan dalam UU-Ketenagakerjaan.
 
Maka dari itu sudah saatnya pemerintah membuat uu yang lebih melindungi buruh dari segi pengupahan, jam kerja, status kerja dan kebebasan berekspresi berpendapat berserikat bagi buruh di dalam pabrik. Karena tolak ukur dari kemjuan suatu negara  bukan hanya sebatas di ukur dari seberapa banyak investasi masuk ke Indonesia akan tetapi di ukur dari sejauh mana tingkat kesejahteraan rakyatnya, apalagi sebagian besar masyarakat Indonesia ialah hampir 80% sebagai buruh formal ataupun informal.



TINGGALKAN KOMENTAR