•   30 April 2024 -

Kehampaan Hak: Masyarakat Versus Perusahaan Sawit di Indonesia

Opini - Redaksi
02 November 2023
Kehampaan Hak: Masyarakat Versus Perusahaan Sawit di Indonesia Bella Paramitha/Ist-Klik Kaltim

Penulis merupakan Mahasiswa Pascasarjana Universitas Gadjah Mada (UGM) Bella Paramitha

Buku Kehampaan Hak oleh Ward Berenschot dkk dipublikasikan pada tahun 2023 mengulas 150 konflik antara masyarakat dan perusahaan kepala sawit.

Buku ini mengkaji upaya protes oleh masyarakat, respons perusahaan, dan peran pemerintah dalam menangani konflik yang terjadi.

Berenschot dkk memandang konflik di sektor perkebunan kelapa sawit sebagai masalah yang mendesak pada lingkup nasional hingga global,  di mana konflik yang mendominasi dalam sektor ini ialah perampasan lahan masyarakat.

Diketahui terdapat ribuan konflik lahan di seluruh dunia yang berdampak pada kesejahteraan masyarakat. 

Argumen utama Berenschot dkk ialah kehampaan hak masyarakat desa yang membuat mereka membentuk gerakan kolektif tanpa merujuk pada hak hukum. Masyarakat tidak dapat mengandalkan dasar hukum karena ketentuan hukum malah menghambat mereka untuk mendapatkan hak sebagai warga negara (de jure rightlessness/ketiadaan hak) serta hukum yang tak dilaksanakan secara efektif untuk kepentingan masyarakat (de facto rightlessness/kehampaan hak).

Ketiadaan hak terjadi akibat hukum yang tidak berpihak pada masyarakat, hukum justru berpihak pada pebisnis dan investor untuk mempermudah dan melancarkan operasi bisnis mereka (yang terkadang merugikan masyarakat).

Kehampaan hak masyarakat terjadi karena hak masyarakat atas tanah yang dibatasi, hukum dan aturan yang tumpang-tindih hingga memperbesar kemungkinan manipulasi, serta hubungan kolusi antara pemerintah dan perusahaan.

Fenomena kolusi mengantarkan pada argumen kedua penulis yaitu bentuk strategi masyarakat desa dalam melawan perusahaan kelapa sawit di tengah kehampaan hak yang mereka derita.

Untuk mengkaji perlawanan hampa hak masyarakat desa, Berenschot dkk menggunakan 3 perspektif yaitu ekonomi politik, agraria kritis dan ekologi politik, serta gerakan sosial dan politik perseteruan.

Melalui perspektif ekonomi politik  mereka menggambarkan hubungan antara bisnis dan politik di Indonesia.

Hubungan relatif antara kelompok elit ekonomi dan kelompok elit politik serta lembaga negara yang terinformalisasi (mengedepankan hubungan informal/kekerabatan berupa balas jasa antara aktor negara dan pebisnis) membuat keduanya saling memengaruhi untuk mencapai kepentingan masing-masing: Pengusaha membangun jalinan birokratis dan kontak politik secara strategis guna memperoleh proyek pemerintah dan peluang bisnis, kekuasaan negara memfasilitasi tumbuhnya perusahaan kapitalis  melalui pemberian konsesi, lisensi impor, atau kontrak negara. 

Relasi keduanya menjadikan pebisnis memiliki posisi yang kuat dalam menekan kebijakan yang juga turut membentuk ketimpangan kekuatan antara masyarakat desa dan perusahaan sawit.

Menggunakan perspektif gerakan sosial dan politik perseteruan, -  penulis melihat perusahaan kelapa sawit - sama dengan kelompok masyarakat - sebagai aktor di balik konflik (contentious actor) yang mengupayakan untuk menang dalam pertarungan ini, untuk memenangkan itu mereka melalukan repertoar perseteruan (contentious repertoire).

Dipihak perusahaan sawit, penulis menemukan perusahaan melakukan setidaknya 4 strategi: kooptasi pemimpin daerah setempat, menjalin relasi dengan otoritas lokal, menekan protes masyarakat lokal, dan mengkriminalisasi pemimpin protes masyarakat agar manajemen perkebunan dapat meminimalisir jumlah kompensasi yang harus mereka berikan pada masyarakat.

Walau sebenarnya, strategi tersebut justru mengeluarkan biaya yang jauh lebih besar dalam jangka panjang karena perusahaan harus membayar pihak berkuasa dan pihak keamanan untuk melindungi operasi bisnis mereka.

Di satu sisi, perusahaan lebih memilih untuk memanfaatkan hubungan relatifnya dengan penguasa demi memperoleh kepastian hukum.

Masyarakat juga melakukan repertoar perseteruan yang bersifat negosiasi kesepakatan dengan perusahaan, mereka menganggap bahwa ini adalah upaya terbaik karena mereka tidak dapat mengandalkan aturan dan hukum yang sering kali dibelokkan atau dimanipulasi.
Melihat dari perspektif agraria kritis dan ekologi politik,  penulis melihat bagaimana respons masyarakat pada perampasan tanah mereka berdasarkan dinamika relasi kelas.

Berenschot dkk menemukan respons masyarakat bukanlah menolak tegas kehadiran perusahaan kelapa sawit, mereka menuntut perusahaan untuk adil dalam melakukan bagi hasil plasma, bertanggungjawab atas kerusakan dan kehilangan lahan mereka yang berdampak ke hilangnya akses penghidupan, atau setidaknya memberikan kompensasi yang sesuai atas kerusakan tersebut.

Kerentanan ekonomi masyarakat membuat mereka terpaksa mengedepankan prinsip “ekonomi moral” yaitu mengedepankan hubungan sosial dengan kelompok elit untuk menjaga mata pencaharian mereka, sehingga mereka jarang melakukan konflik secara terbuka dengan perusahaan  yang mereka lihat sebagai kelas elit berkuasa.

Refleksi: Implikasi Pembangunan berorientasi Pertumbuhan Ekonomi


Kelapa sawit merupakan salah satu komoditas perkebunan ekspor terbesar yang Indonesia miliki. Di tahun 2021 ekspor kelapa sawit menempati posisi pertama dengan angka sebesar 74%, kemudian disusul dengan karet, kelapa, kopi, dan lainnya.

Indonesia juga menjadi penghasil minyak kelapa sawit terbesar nomor 1 di dunia.  Pencapaian tersebut tentu saja membuat sektor kelapa sawit semakin berkontribusi dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Paradigma pembangunan di Indonesia yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi membuat pemerintah negara lebih pro kepada kelompok kapital yang memiliki sumberdaya dan modal besar.

Mereka menganggap bahwa dengan berpihak pada perusahaan sebagai pemilik kapital, pertumbuhan ekonomi akan semakin meningkat dengan memperlancar operasi perusahaan. Mereka juga mendapatkan ‘balas jasa’ berupa keuntungan material dan modal politik oleh perusahaan atas kontribusi tersebut.

Paradigma yang membentuk mekanisme tersebut telah berimplikasi pada perampasan hak masyarakat sebagai warga negara. Karena keberpihakan pemerintah pada kelompok kapital, masyarakat tidak memiliki pelindung ketika harus dihadapkan pada konflik dengan perusahaan.

Hal ini membentuk ketimpangan kekuatan dan kekuasaan antara masyarakat dan perusahaan.
Buku Kehampaan Hak memvalidasi bahwa paradigma pembangunan kita telah berimplikasi pada kegagalan pemenuhan hak masyarakat dan berpalingnya negara dari kita.

Negara demokrasi yang seharusnya kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat malah berbelok dikuasai oleh kelompok kapitalis, diperparah oleh negara yang pro kepada mereka (kapitalis kroni ).



Referensi
Aspinall, Edward. 2013. ‘A Nations in Fragments: Patronage and Neoliberalism in Contemporary Indonesia.’ Critical Asian Studies 45 (1).

Berenschot, Ward. 2018. ‘The Informality Trap: Democracy against Governance in Asia.’ Inaugural lecture, University of Amsterdam.

Breman, Jan. 2015. Mobilizing Labour for the Global Coffee Market: Profits from an Unfree Work Regime in Colonial Java. Amsterdam University Press.

GRAIN. 2008. ‘Seized: The 2008 Landgrab for Food and Financial Security’. https://www.grain.org/media/BAhbBlsHOgZmSSI3MjAxMS8wNi8zMC8 xNl8wMV8zNF80MTNfbGFuZGdyYWJfMjAwOF9lbl9hbm5leC5wZGY GOgZFVA/landgrab-2008-en-annex.pdf

Pearce, Fred. 2012. The Land Grabbers: The New Fight over Who Owns the Earth. Boston: Beacon Press.

Touch, Siphat, dan Andreas Neef. 2015. ‘Resistance to Land Grabbing and Displacement in Rural Cambodia.’ Land Grabbing, Conflict and Agrarian Environmental Transformations: Perspectives from East and Souheast Asia.

Tilly, Charles, dan Sidney G. Tarrow. 2015. Contentious Politics. Edisi kedua dengan revisi. New York, NY: Oxford University Press.

Kang, David C. 2002. Crony Capitalism: Corruption and Development in South Korea and the Philippines. Cambridge: Cambridge University Press.




TINGGALKAN KOMENTAR