•   10 May 2024 -

OPINI: Indonesia Merdeka, Yakin?

Korporasi -
15 Agustus 2018
OPINI: Indonesia Merdeka, Yakin? Penulis; Dian eliasari, S.KM, Pendidik

PROKLAMASI kemerdekaan indonesia oleh founding father, Soekarno-Hatta sudah 73 tahun berlalu. Hingga kini, tiap tahunnya selalu diperingati dengan acara yang meriah, diawali dengan acara wajib, yaitu upacara bendera. Lalu dibarengi dengan berbagai jenis lomba khas Indonesia serta konser mewah. Semua berbahagia dan melupakan sejenak problem kehidupan. Semua merasa sudah merdeka.

Tapi saat kita asik merayakan kemerdekaan, ternyata sumber daya alam kita yang penting masih dikuasai asing. Berbagai jenis sumber daya alam milik Indonesia yang justru dikuasai asing, nyatanya tidak memberikan pengaruh apapun kepada masyarakat sekitarnya apalagi masyarakat Indonesia secara umum.

Kita boleh berbangga dengan kekayaan alam yang dimiliki oleh Indonesia, tetapi kita juga pasti menangis jika melihat kenyataan bahwa kekayaan alam kita dikuasai oleh asing. Sumber kekayaan alam Indonesia dieksploitasi hanya untuk memenuhi kebutuhan industri Negara-negara maju seperti Amerika, Inggris, Australia, Jepang dan China.

Pertanyaan yang muncul kemudian adalah Indonesia mendapatkan apa dari pengelolaan kekayaan alam yang dilakukan oleh asing? Di negeri sendiri rakyat Indonesia hanya dijadikan sebagai penonton atau sapi perahan pendukung eksploitasi SDA.

Ketua Dewan Pembina Agro Ekonomika Foundation Bambang Ismawan menyatakan investor asing telah menguasai kekayaan sumber daya alam pertambangan Indonesia akibat kebijakan ekonomi pemerintah tidak sesuai dengan Pasal 33 UUD 1945, yaitu kekayaan alam yang ada di Indonesia dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk kesejahteraan rakyat.

Ia menjelaskan, industri pertambangan yang dikuasai asing, antara lain minyak bumi sebesar 85 persen, gas alam 85 persen, batu bara 85 persen, emas 90 persen, tembaga 80 persen, nikel 79 persen, timah 75 persen dan mutiara 90 persen. Tidak hanya sektor pertambangan yang dikuasai asing, kata dia, tetapi juga sektor perkebunan misalnya, kopra 80 persen, ikan 75 persen, kakao 68 persen, garam 60 persen, dan kelapa sawit 55 persen.

Berdasarkan catatan Badan Pemeriksa keuangan (BPK) dominasi asing di sektor Migas 70%, batu bara, bauksit, nikel dan timah 75%, tembaga dan emas sebesar 85% serta pada perkebunan sawit sebesar 50%. Jumlah ini menunjukkan bahwa betapa lemahnya posisi pemerintah untuk melindungi aset Negara.

Selain itu peran pemerintah untuk mencegah terjadinya konflik agraria di sektor pertambangan juga sangat lemah. Pada tahun 2013 Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat ada 38 konflik di sektor pertambangan dengan luas konflik 197.365,90 ha.

Di Indonesia, ada beberapa gunung yang dikuasai oleh asing dan dijadikan area pertambangan. Pertama,  Gunung Tembagapura di Mimika, Papua dikuasai oleh Freeport sejak 1967. Kedua Gunung Meratus di Kalimantan Selatan dikuasai oleh PT Antang Gunung Meratus (AGM) sejak 1999. Ketiga Gunung Salak di Bogor dikuasai oleh PT Chevron. Keempat, Gunung Pongkor yang dikuasai PT Aneka Tambang (Antam). Kelima adalah Gunung Ceremai di Jawa Barat yang dikuasai Chevron baru-baru ini. (wawanmyblogaddress.blogspot.com/2014/12)

Melimpahnya kekayaan alam Indonesia justru berbanding terbalik  dengan kondisi masyarakatnya, di mana Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah penduduk miskin di Indonesia pada Maret 2018 ada sebanyak 25,95 juta orang.

Akan tetapi, jika dihitung berdasarkan standar Bank Dunia, jumlah orang miskin di Indonesia diperkirakan lebih banyak dari yang dirilis BPS. Pasalnya, dalam menghitung angka kemiskinan, BPS menggunakan garis kemiskinan sebesar Rp 387.160 per kapita per bulan. Tentunya penghasilan ini belum dibandingkan dengan jumlah beban hidup yang ditanggung oleh orang tersebut, serta harga kebutuhan pokok yang terus-menerus mengalami kenaikan.

Sementara itu, garis kemiskinan Bank Dunia adalah sebesar USD 1,9 per hari, atau setara Rp 775.200 per bulan (kurs 13.600). Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati mengungkapan, jika diukur dengan standar Bank Dunia, maka angka kemiskinan bisa lebih dari dua kali lipat. Bahkan mencapai 70  juta orang Karena (jumlah orang) yang rentan miskin saja ada 40 juta. (www.jawapos.com/06/03/2018)

Kondisi ini semakin diperparah dengan  data utang luar negeri (ULN) akhir Mei 2018 yang telah dirilis oleh Bank Indonesia (BI) tercatat sebesar US$ 358,6 miliar atau sekitar Rp5.075,3 triliun (kurs Rp14.153). Hal ini berarti setiap orang di Indonesia yang jumlahnya saat ini sekitar 265 juta jiwa (data BPS/2018), menanggung sekitar 18 juta utang luar negeri. (www.viva.co.id)

Melihat fakta di atas, apakah kita masih yakin jika indonesia sudah merdeka secara hakiki, ataukah perayaan kemerdekaan yang sudah puluhan tahun dilakukan hanyalah seremonial? Pada faktanya, proklamasi kemerdekaan telah mengubah status penjajahan secara fisik (paksa) menjadi model penjajahan gaya baru melalui undang-undang yang dibuat oleh penguasa yang sangat loyal kepada penjajah. Kondisi ini tidak akan berubah selama aturan kehidupan yang kita gunakan masih bergantung pada sistem demokrasi kapitalis yang asasnya adalah kepentingan dan keuntungan.

Sementara aturan (syariat) Islam telah terbukti selama 13 abad telah mampu menciptakan peradaban besar yang manfaatnya bisa kita rasakan sampai detik ini dan tentu saja sesuai dengan mayoritas penduduk Indonesia yang beragama Islam. Wallahu a'lam. (Penulis; Dian eliasari, S.KM, Pendidik)




TINGGALKAN KOMENTAR