•   29 March 2024 -

Membuka Tabir Identitas Politik Umat

Opini - Redaksi
15 April 2020
Membuka Tabir Identitas Politik Umat Rahmatullah Usman, Pengasuh HalaqahNurcholisMadjid

Membaca pemikiran cendikiawan muslim yang satu ini membuat penulis ditarik dalam esai-esai sejarah politik umat islam, dimana pada saat itu masih tahap memulai membagun sebuah sistem politik umat itu sendiri, dengan berbagai ormas yang bermunculan pada abad 20 hingga 21. Pergolakan pemikiran politik umat saat itu atau dalam sebuah bingkai sejarah, tidak lepas dari apa yang terjadi saat ini, meski zaman telah berubah, akan tetapi subtansi tetaplah tidak jauh berbeda.

Bukankah sejarah merupakan gambaran masa depan. Dalam catatan, sebuah sejarah tidaklah terlepas dari hukum keterkaitan masa lalu dan yang akan datang, maka dampak dari identitas umat saat ini adalah sebuah akibat dari pergolakan umat di masa lampau. Untuk itu melalui tulisan ini, penulis mencoba membaca kembali situasi identitas politik umat dengan sebuah pandangan struktur transendental dari Kuntowijoyo, sekaligus menempatkan pola pemikiran tersebut sebagai suatu studi pemikiran untuk menambahkan referensi intelektual kita.

Uraian Kuntowijo dalam sebuah pergeseran paradigma dikalangan umat Muslim, kekeliruan dalam ilmu pengetahuan terkait dengan seesorang yang berkecimpung di dalamnya, misalnya seorang yang taat Bergama yang berkecimpung dalam ilmu-ilmu alam (sains) tidak terlalu banyak mempersoalkan mengenai suatu aspek muamalah dari agama, persoalannya hanya identitas beriman atau tidak. 

Berbeda dengan seseorang yang berkecimpung di dalam studi pengetahuan sosial misalnya (sosiologi, antropologi, sejarah, politik dan filsafat), akan mempunyai persoalan yang besar, kerena bagaiamana membaca situasi sosial umat yang mempunyai beragam pandangan dalam aspek hubungan sosialnya.

Oleh karena itu dalam hukum sosial tidaklah ada hukum yang pasti (berdinamika), berebda dengan seorang yang mempelajari ilmu sains, tidaklah terlalu rumit untuk menentukan suatu pandagan persoalan agama (aqidah, ibadah, syariah, muamalah) sabagaimana ia menerima hukum-hukum alam.

Wajar saja ketika sang ilmuan sains, dari sebagian yang menekuninya sangatlah kaku terhadap realitas sosial, bukan hanya itu, ada suatu pandangan yang timbul dari pemikiran seperti ini, ialah penerimaan suatu pandangan moral yang mengalami lompat dari meta etik ke normative tanpa ada satu deskripsi pemikiran.

Kerena pandangan umum dari para intelektual sains ialah peroslan sains bukanlah persoalan sosial. Paradigma ini haruslah dirumuskan ulang, agar menjadi suatu tanggung jawab ke-ilmuan yang menuju ternsformasi sosial.

Sains bukan hanya tempatnya pada Lab, tapi bagaimana dari lab tersebut seorang ilmuan membawanya ke praktis, artinya bahwa penemuan ilmiah itu merupakan suatu nilai moral yang realisme.

Jadi ada suatu kaidah ke maslahatan sebuah ternsformasi untuk gerakan sosial disinilah agama masuk dalam sebuah metodenya. Juga bagi mereka yang berkecimpung dalam ilmu agama, bukankah adalah suatu keherangan bagi meraka yang menyaksikan saat ini konflik yang terjadi, di masyarakat, bagaimana tanggapan nilai moral sesesorang yang menekuni ilmu agama?.

Apakah mereka mengembil suatu sikap yang hitam putih atau objektif dalam pandangan mereka, dalam peletakan nilai moral tidak-lah sah ketika ada suatu penilaian yang hitam putih, harus ada suatu pandangan moral.

Pertanyaannya ialah, bagaiamana sesesorang yang menekuni ilmu agama yang tidak mengerti ilmu-ilmu sosial?, bagimana meletakan atau merumuskan suatu pandangan moral untuk umat islam agar tidak menjadi hitam putih dalam sebuah penilaian moral.

Apakah nilai suatu agama hanya menjadi metaetika, atau suatu nilai yang normative dari pandangan para penekun ilmu agama. Tak heran yang terjadi saat ini umat islam dalam melakukan pandangannya terhadap realitas sosial sangat tidak mempunyai identitas normative (objektif), sebagaian yang metaetik dan juga ada kelaziaman mengikuti tokoh agama, bukan karena menganalisis pemikirannya tokoh tersebut.

Atas dasar ini identitas politik umat islam menjadi tidak objektif, karena atas mengikuti sebuah pemikiran yang hanya metaetik, karena hanya mengikuti apa yang menjadi tokoh yang dikaguminya. Bukannya kami menolak suatu pandangan moral yang meta etik, karena itu merupakan realitas yang terjadi artinya pandangan moral yang relative memanglah ada di dalam pandanagn moral masyarakat (umat).

Akan tetapi terlepas dari pandangan tersebut, kita ingin mendudukan suatu pandagan moral yang menghasilkan suatu rumusan dalam menilai realitas sosial umat, karena dalam moral meta etik sangatlah relative, akibatnya akan terjadi apatisme dalam relasi antar umat.

Yang mengakibatkan konflik sesama umat muslim sendiri, karena masyarakat kita tidak siap untuk menerima suatu pandagan moral yang berbeda darinya.

Walhasil agama menjadi suatu perebutan pengklaiman antara ormas yang berbeda, perebutan mengakibatkan ketidak stabilan sistem sosial yang telah menjadi hukum normative agama, bukan hanya itu dari kejadian tersebut, banyak dari umat muslim tidak menjadi berpikir realisme tapi emosinal yang terbagun dari konflik tersebut. Politik umat islam menjadi terkotak-kotakan, identitas yang rahmatanlil alamin menjadi sebuah paradigm yang tersingkir.

Politik tidak lagi dikembalikan untuk trnsformasi sosial, ia bukan lagi sebuah jalan untuk mengubah struktur tatanan sosial, akan tetapi politik menjadi terpisah dari agama, politik menjadi tersendiri dan agamapun sebaliknya. Yang lebih miris lagi bahwa agama menjadi alat politik dan kekuasan untuk meregut massa, identitas politik umat tidak lagi menjadi basis sosial (umat) ,ia menjadi suatu kepentingan kelompok tertentu.

Arah dari identitas politik umat islam itu sendiri akan mengarah kemana?, umat islam sendiri bingung untuk mengarahkan pandangan politiknya, sebagai suatu politik islam mengarahkan basisnya ke pada masyarakat, peleburan antara pemimpin dan yang dipimpin (umat) menjadi hubungan emosional, saling menegakkan amar’maaruf dan nai mungkar, untuk membangun cita-cita sosial umat.


Sebagai sebuah agama yang rahmatan lil-alamin, islam seharusnya maju terdepan dalam progres intelektual untuk mengubah masyarakat dalam ketertinggalan pemikiran, terkhusus bagi intelektual muslim.

Islam sendiri bisa bertansformasi dalam pemikiran dan bisa meyelamatkan dirinya sendiri dari guncangan luar yang ingin mengacaukannya, apa lagi dengan kesadaran umat yang terbagun secara kolektif dan sadar akan adanya nilai normative dalam kehidupan berlembaga (Negara) kita.

Umat islam sendiri sejak Abad 20 sampai dengan abad 21 dalam fase tersebut umat pada saat itu bangkit untuk melepas ketertinggalannnya. Dalam proses tersebut telah paham arti pluralism, meski ada sebagian yang anti terhadap jagron tersebut.

Namun budaya umat islam adalah budaya saling menghargai, dan tidak ingin menghancurkan pahaman yang berbeda, bukti dari itu semua ialah sampai sekarang kita masih bisa hidup berdampingan, meski ada fakta terbalik, tapi tatap kita harus optimis bahwa umat islam masih tetap kokoh dalam pandangan yang rahmatan lil-alamin.

Dalam progress gerakan sosial, identitas politik umat saat ini telah tumbuh dewasa dalam meyikapi realitas sosial yang terjadi, umat sendiri bisa meyuarakan indentitas politiknya yang atas kesadaran pengetahuan.

Bukan hanya itu identitas kita ialah berbudaya, sensitive terhadap sosial, bukti dari ini ialah pembacaan pada media sosial, umat sendiri telah banyak andil dalam berpendapat, akan tetapi dalam identitas ini perlu agenda untuk mengarahkan identitas politik umat.

Progresifitas intelektual muslim harus turun gunung untuk melakukan sebuah transformasi sosial, dan menjadi sebuah agen dalam sturktur sosial umat Islam.

Oleh: Rahmatullah Usman

Penulis adalah Pengasuh HalaqahNurcholisMadjid

 




TINGGALKAN KOMENTAR