•   19 April 2024 -

Tony Budi Hartono: Filosofi Trubus, Berkah dan Paser

Profil - Redaksi
26 September 2020
Tony Budi Hartono: Filosofi Trubus, Berkah dan Paser Andi Ade Elfathir

NAMA tokoh ini, H. Tony Budi Hartono sayup sudah saya dengar sejak sepuluh tahun lalu. Namun belum ada satu benang yang menyambungkan kami dalam perkenalan lebih dekat.

Dari kejauhan saya mengenalnya sebagai pengusaha religius yang sukses. Tak banyak informasi tambahan. Mungkin karena jarak bermukim kami, Samarinda dan Paser, cukup jauh sehingga informasi-informasi jarang menyambungkan kami berdua.

Saya ingat, lebih kurang setahun lalu bertemu dengannya dalam satu acara di Balikpapan. Lewat obrolan santai saya mencatat banyak hal istimewa dari pikiran-pikirannya yang sederhana namun beda, jernih dan berjangka panjang.

“Saya ini merasa sudah cukup usia, Mas. Tapi setelah saya membandingkan daerah kita di Kaltim, khususnya di Paser dengan negara-negara yang sempat saya kunjungi, Singapura, Malaysia, Australia sampai New Zealand dan lain-lain, saya merasa ada yang harus kita benahi bersama. Pembangunan kita haruslah menjadi gerakan bersama yang melibatkan semua pihak. Saya merasa terpanggil untuk memanfaatkan sisa usia saya terlibat dalam pembangunan daerah. Kita menang secara kuantitas dalam hal sumber daya, tapi tidak mampu memberi bobot manfaat secara kualitas. Kita hanya kaya dalam warisan alam, tapi miskin dalam manfaat. ”

Kalimat itu diucapkan setahun lalu saat perkenalan pertama kami. Saya ingat kurang lebih seperti itu.

Beberapa waktu lalu, saya menghadiri acara yang beliau gelar di Pondok Pesantren Trubus Iman, pondok yang didirikannya di Tanah Grogot. Ini kunjungan pertama. Judul acaranya Silaturrahim antar Tokoh dan Masyarakat Paser.

Dari jalan besar arah ke Pondok, kami masuk melalui kebun salak dan pemukiman warga kampung. Butuh beberapa kali belokan dan simpangan untuk sampai ke gerbang. Beberapa santri telah menunggu di setiap tikungan dan simpangan sebagai petunjuk arah. Saat memasuki area pondok, saya tak mampu menyembunyikan rasa takjub. Banyak kalimat tertulis besar-besar di setiap tembok gedung maupun gerbang-gerbang.

Saya ingat kalimat-kalimat itu mirip di Pondok Modern Gontor Ponorogo. Tempat anak kedua saya mondok tujuh tahun. Saya lalu tahu, anak mantu beliau yang kini memimpin Pondok Trubus Iman ini adalah alumni Gontor Darussalam. Pantas saja, kataku dalam hati.

Memasuki gerbang di dataran yang agak tinggi, kami lurus menuju area terbuka yang mirip taman-taman golf. Jalan lalu berbelok, menukik agak ke bawah di mana terdapat banyak kolam-kolam besar beserta gazebo yang berjejer panjang, juga kebun-kebun buah yang luas.

Kami dipersilakan menuju sebuah gedung terbuka yang besar. Ternyata sudah hampir penuh. Banyak tokoh-tokoh telah berkumpul. Saya hanya mengenal beberapa di antaranya seperti ketua Majelis Ulama Indonesia Paser, tokoh-tokoh muda dan juga orang-orang dekat Pak Haji, sapaan akrab beliau. Saya dan beberapa kawan mengambil posisi agak di pojok. Duduk mengitari meja-meja bundar yang memenuhi ruangan.

Acara dimulai. Saat ekspose pikiran, gagasan dan pandangan-pandangan H.Tony; saya fokus ke arah podium. Beliau mulai dengan Pondok Trubus Iman. Sebuah filosofi yang menekankan epistemologi Trubus yang berarti bertumbuh dalam nilai dan visi.

“Hidup adalah dinamika pertumbuhan. Semuanya seperti itu. Pengetahuan, cara, tata kehidupan, metode dan keimanan haruslah terus bertumbuh ke arah yang lebih baik, berdaya guna dan bermanfaat bagi kehidupan. Itulah mengapa kami namai tempat ini sebagai Pondok Trubus Iman. Pondok tempat menempa anak-anak santri untuk bertumbuh dalam keimanan supaya mampu memberi manfaat bagi kehidupan. Dan saat selesai nanti sebagai alumni, mereka mampu menebarkan spirit trubus ke tengah-tengah masyarakat. Sengaja saya mengundang Bapak/Ibu dan saudaraku semua ke tempat ini supaya kita mampu menangkap semangat Trubus dalam niatan awal kita. Paradigma pertumbuhan ke arah yang lebih baik.”

Ini kalimat yang baik. Saya mencatat dalam hati. Terdengar aplaus meriah dari seisi ruangan.

Beliau lalu mengalir dalam penjelasan yang panjang namun lugas. Hadirin yang ratusan orang itu menyimak dalam hening. Dari filosofi Trubus, beliau sambung ke jargon Paser Berkah yang selama ini melekat dalam pesan-pesan politik yang kerap dikampanyekannya.

“Selain trubus, saya selalu menyebut kata berkah dalam ceramah-ceramah saya. Kenapa? Karena kita kadang lebih fokus ke jumlah sehingga lupa nilai. Kita selalu mengukur sesuatu dengan tatanan kuantitas dan mengesampingkan kualitas. Paser punya sumber daya yang melimpah. Tapi gagal memberi manfaat keberkahan kepada masyarakat. Enam puluh persen masyarakat kita hanya berpendapatan di bawah Rp 1,5 juta perbulan. Itu pun mereka defisit. Pendapatan itu tak cukup memenuhi pengeluaran rumah tangga setiap bulannya. Kita miris melihat ironi ini. Kekayaan alam kita, perkebunan luas, pertanian pun luas, tak mampu terkelola secara berkah. Efek pertambangan dan perkebunan kita belum mampu memberi trickle down effect kepada masyarakat. Kenapa demikian? Karena kita kehilangan keberkahan. Pembangunan kita lebih banyak mengarah pada orientasi kekuasaan ketimbang orientasi kerakyatan. Pembangunan kita masih banyak untuk citra permukaan. Kita harus melakukan perubahan, mengubah arus dari power centered development menjadi people centered development."

Saya simak lekat-lekat penyampaian pikiran-pikiran dari tokoh kita ini. Sebuah pikiran yang bernas. Visi yang lurus dari pertumbuhan (Trubus) menuju keberkahan (Paser Berkah). Ini pandangan yang sangat universal. Berlaku bukan hanya untuk Paser, tapi juga Kaltim bahkan Indonesia.

Saya tak lagi konsentrasi mendengarkan sambungan-sambungan pidatonya sampai selesai. Termasuk tanya jawab dan respons dari tokoh-tokoh yang banyak hadir di situ. Saya mencatat dua hal ini rasanya sudah cukup. Trubus dan berkah. Persambungan dua filosofi yang kuat dan mencerahkan.

Maka, setelah acara makan bersama, saya mendatangi beliau. Berjabat tangan lalu berbicang ringan. Kami membuat janji untuk bertemu di waktu lain. Mungkin sambil mancing di kolamnya yang luas ini.

Sehat selalu Pak Haji! 

Oleh; Andi Ade Elfathir, Peneliti Icon Institute

Tanah Grogot, September 2020




TINGGALKAN KOMENTAR